DPR SAHKAN UU NARKOTIKA DAN KESEHATAN
14-Sep-2009
Sidang Paripurna DPR RI yang dipimpin Ketua DPR Agung Laksono sepakat untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Narkotika dan RUU Kesehatan menjadi Undang-Undang di Gedung Nusantara II, Senin (14/9).Namun pengesahan RUU Narkotika dan RUU Kesehatan dilakukan tanpa mendengar pandangan akhir fraksi. Pengesahan kedua UU ini memang menghapuskan sesi pandangan akhir fraksi untuk menghemat waktu sidang. Untuk RUU Kesehatan, Pimpinan sidang, Agung Laksono, menanyakan satu persatu kepada masing-masing Fraksi untuk dimintai persetujuannya. Sedangkan untuk RUU Narkotika Agung hanya menanyakan secara terbuka per fraksi, apakah setuju dengan pengesahan RUU tersebut.Sebelum palunya diketokkan sebagai tanda pengesahan, dengan tegas Agung melontarkan pertanyaan. "Apakah setuju RUU ini disahkan menjadi UU,” Katanya. Kemudian dari tempat duduk wakil rakyat kompak menjawab setuju. Perwakilan pemerintah, Menteri Hukum dan HAM, Andi Mattalatta menyatakan, pemerintah mengapresiasi disahkannya kedua RUU tersebut menjadi UU."RUU Narkotika ini kan sudah dibahas selama 4 tahun dan materi-materinya kita ingin menyelamatkan anak-anak dari peredaran narkotika yang tidak hanya dijalankan oleh jaringan perorangan tapi juga jaringan internasional," tegasnyaPengesahan RUU Narkotika ini sebelumnya mendapat pertentangan oleh Indonesian Coalition for Drugs Policy Reform (ICDPR), mereka meminta pengesahan RUU nNarkotika untuk ditunda, ICDPR menilai substansi RUU Narkotika bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM.ICDPR sangat menyayangkan substansi RUU yang masih mengidentifikasi orang yang ketergantungan terhadap narkotika sebagai pelaku tindak pidana. ‘Cap’ ini dinilai keliru karena Perhimpunan Dokter Seminat Kedokteran Adiksi Indonesia telah menyatakan adiksi narkotika adalah suatu penyakit yang menyerang fungsi otak, dan ada peluang untuk disembuhkan. Hal lain yang mendapat sorotan ICDPR adalah masih diberlakukannya hukuman mati untuk menindak pelaku tindak pidana narkotika. Menurut ICDPR, pemberlakuan hukuman mati jelas bertentangan dengan prinsip HAM. Hukuman mati juga tidak sejalan dengan tujuan pemidanaan modern adalah restoratif (pemulihan) bukan retributif (pembalasan). Terlebih lagi, praktek hukuman mati telah lama ditinggalkan oleh negara-negara beradab di belahan bumi manapun.“Apabila RUU tersebut tetap disahkan, ICDPR menolak keberadaan UU Narkotika yang baru karena telah menciderai proses demokratisasi yang telah susah payah dirintis oleh Indonesia, serta mengkhianati prinsip-prinsip HAM,” tulis ICDPR dalam rilisnya.Khusus RUU Kesehatan, Fraksi Partai Damai Sejahtera memberikan persetujuan namun dengan catatan. Anggotanya, Ferdinan K Suawa mengatakan, pihaknya memberikan catatan atas pasal mengenai aborsi. Fraksi PDS menyetujui pasal aborsi sepanjang dilaksanakan demi keselamatan ibu dan anak.RUU Kesehatan membolehkan aborsi dilakukan oleh korban perkosaan dengan persetujuan badan konselling. "Masalah aborsi kompleks. Pascaaborsi lebih berat gangguan psikologisnya. Kami setuju sepanjang dengan alasan menyelamatkan ibu dan anak," kata Ferdinan.Sedangkan dari Fraksi PBR menyatakan keberatannya terhadap adanya aborsi meskipun kehamilan tersebut akibat kasus pemerkosaan, karena menurutnya sijabang bayi tetap mempunyai hak hidup.Sementara itu, Ketua Pansus RUU Kesehatan, Ribka Tjiptaning menekankan, pada dasarnya aborsi dilarang. "Aborsi tetap dilarang, tapi dengan pengecualian. Misalnya, karena alasan medis bisa dilakukan tapi melalui persetujuan badan konselling," ujar Ribka.Badan konselling terdiri dari dokter, tokoh agama dan psikolog. "Kalau badan konselling tidak membolehkan, ya tidak boleh. Pada intinya, RUU ini diharapkan menurunkan angka aborsi," kata Ribka. Pada pengesahan RUU Narkotika dan RUU Kesehatan ini, dihadiri Wakil dari Pemerintah yakni Menteri Agama M Maftuh Basyuni, dan Menkum HAM Andi Mattalatta beserta jajarannya.(sw/nt)
06 November 2009
Langganan:
Postingan (Atom)